Kamis, 28 April 2011

Bisnis Sepatu sang Peragawan


Kisah sukses perancang dan pengusaha sepatu Iyuth Brand

Ketika perusahaan sepatu lain gulung tikar karena krismon, Iyuth Brand Shoes, milik mantan peragawan terkenal Iyuth Brand, justru booming. Ikuti rahasia sukses Iyuth membesarkan perusahaan sepatunya.

Tak mabuk kepayang ketika sedang tenar. Itulah salah satu prinsip yang dipegang Iyuth Brand, perancang dan pengusaha sepatu yang cukup kondang di tanah air. Di awal 1990-an, sebagai salah satu peragawan terkenal, namanya masih cukup harum. Tawaran manggung pun masih terus mengalir. Tapi, sejak saat itu, Iyuth memutuskan untuk beralih profesi menjadi perancang dan pedagang sepatu. Iyuth sadar, ia tak bisa selamanya jadi peragawan karena usianya terus bertambah dan model-model baru terus bermunculan.

Sekarang, setelah delapan tahun menekuni bisnis alas kaki, Iyuth berhasil mendudukkan dirinya menjadi perancang dan pengusaha sepatu yang disegani. Ketika orang menuding sepatu sebagai sunset industry dan banyak pengusaha sepatu gulung tikar akibat krismon, ia justru makin berjaya. "Penjualan dan produksi saya booming, naik 50%," kata Iyuth. Ini semua berkat kejeliannya melihat peluang. Ketika krisis melanda Indonesia, dan banyak pengusaha sepatu menghentikan produksinya, Iyuth justru membanjiri pasar dengan sepatu murah. Bahan baku impor pun diganti dengan bahan lokal. "Pintar-pintarnya saya mengombinasi bahan," katanya.

Alhasil, masyarakat pun menyerbu sepatu buatan Iyuth. Menurutnya, saat ini 60% penghasilannya berasal dari penjualan sepatu kelas menengah bawah. Meskipun begitu ia tetap meladeni pasar menengah atas. "Semua segmen kan butuh sepatu, jadi fleksibel saja tergantung permintaan pasar," kata Iyuth. Strategi ini sukses karena ia sudah memiliki jaringan pemasaran yang luas. Saat ini Iyuth memiliki tak kurang dari 150 gerai alias outlet yang tersebar di setiap pusat perbelanjaan. Mulai dari Ramayana dan Borobudur, tempat belanja kalangan menengah bawah, sampai arena shopping orang-orang kaya macam Sogo dan Metro.

Omzetnya tentu saja besar. Sayang, Iyuth enggan membicarakannya. Sebagai gambaran, setiap harinya total produksi ke-12 bengkel sepatu miliknya mencapai 6.000 - 12.000 pasang sepatu, sementara harganya berkisar antara Rp 10.000 - Rp 300.000 perpasang. Dalam waktu dekat Iyuth juga akan menjual sepatu-sepatu kelas atas di Pasar Raya dengan harga sekitar Rp 750.000 per pasang. Di luar itu, ia juga menerima order khusus dari perusahaan busana terkenal seperti Sophie Martin. Ada pula dari perancang-perancang busana seperti Itang Yunas, Ramli, dan Susan Budihardjo. Meskipun jumlah tak banyak, tapi harganya jauh lebih mahal. Seberapa mahal? "Itu rahasia dagang,dong," kata lelaki 35 tahun mengelak.

Si muka tembok itu kini dikejar-kejar pembeli

Usaha sepatunya dirintis setelah malang melintang di dunia mode selama 12 tahun. Ada dua bidang yang awalnya ingin ditekuninya. Pertama menjadi merancang busana. Kedua, merancang sepatu. Tapi kemudian Iyuth, yang lihai mendesain pakaian dan sepatu, memilih terjun ke bisnis sepatu. Alasannya, dibanding perancang busana, persaingannya lebih longgar. Maka, tahun 1992, dengan modal awal Rp 4 juta, Iyuth memulai bisnis sepatunya.

Produksi pertamanya adalah sepatu jungle yang bergaya koboi untuk lelaki. Meskipun mendapat banyak kritikan lantaran dinilai kelewat modis, toh 60 pasang sepatu jungle yang dijual di Department Store Borobudur itu habis terjual. Selanjutnya Iyuth mulai membuat sepatu-sepatu dengan model yang lebih sederhana sehingga bisa dipakai di mana saja, dengan jumlah jauh lebih besar: 100 pasang. Sepatu-sepatu itu pun ludes terjual. Setelah sukses dengan sepatu laki-laki, tiga tahun kemudian Iyuth berekspansi ke sepatu perempuan.

Mula-mula, ia kesulitan memperluas jaringan pemasarannya. Soalnya, karena harga sepatunya murah, tak banyak department store yang mau menerimanya. Awalnya, hanya Ramayana dan Borobudur yang mau menerimanya. Sebelumnya, Iyuth memang sudah memiliki hubungan yang cukup baik dengan kedua department store tersebut. Maklum saja, ketika masih jadi peragawan, Iyuth juga pernah nyambi bekerja sebagai Chief Merchandiser (bagian pengembalian produk-produk busana) di kedua tempat tersebut.

Tapi koneksi tak bisa terus-menerus jadi sandaran. Buktinya, meskipun kenal baik dengan pengelola Sogo, toh Iyuth ditolak di tempat itu. Meskipun berkali-kali ditolak, Iyuth tetap tak patah semangat. "Muka tembok deh," ujar lelaki yang mengaku dirinya sebagai "duda kembang" itu. Setelah 10 kali bolak-balik mengajukan permohonan, akhirnya Sogo luluh juga. Mengejutkan, sepatu karya Iyuth yang dilego di tempat elite itu ternyata laris manis. Minimal 20 pasang sepatu terjual setiap minggunya. Department store kelas kakap lainnya, seperti Metro, mulai melirik Iyuth. Kondisinya berbalik, sekarang ia yang dikejar-kejar pengelola pusat perbelanjaan. "Saya sekarang jadi jual mahal, tanya lokasinya dulu ha..ha...," gelak Iyuth.

Penggemar sepatu rancangan Iyuth makin luas. Selain harganya yang terjangkau, sepatu yang semuanya adalah buatan tangan itu cukup eksklusif. "Saya berusaha agar mode di setiap departmen store berbeda," katanya. Ia mengaku sudah menghasilkan 300 model sepatu laki-laki dan 500 model sepatu perempuan. Di pasar lokal Iyuth memakai beberapa merek dagang, seperti Sandal, Skandal, dan Iyuth Brand Shoes. Untuk setiap mode, ia hanya membuat 60 pasang sepatu. Kalau laku di pasaran, mode itu akan diproduksi kembali. Rata-rata, setiap mode sepatu rancangan Iyuth diproduksi ulang lima sampai 10 kali.

Selain sibuk mendesain dan mengontrol hasil kerja 200 orang karyawannya, Iyuth juga mengerjakan desain pakaian untuk beberapa perusahaan seperti KFC, Indosiar, dan Texas. Ia juga sedang berekspansi ke bisnis tas. Meskipun sekarang sudah dibantu lima orang kerabat dekatnya, toh Iyuth tetap saja merasa repot dan kekurangan waktu. "Kalau bisa dibeli, saya mau beli waktu," ujarnya.

Iyuth Palsu Pembawa Hoki

Iyuth Brand, perancang sepatu terkenal, tak pernah menyangka kalau nama "Iyuth" yang diambil dari nama kakak kandungnya itu bakal jadi begitu terkenal. Perancang sekaligus pengusaha sepatu bermerek Iyuth Brand Shoes itu terlahir 35," ujarnya.

Nama Iyuth mulai melekat padanya lantaran ke mana pun pergi dia selalu mengenakan gelang emas milik kakaknya yang bertuliskan Iyuth. Sejak itu orang-orang pun memanggilnya Iyuth. Ketika WNA beramai-ramai mengganti nama, lelaki keturunan Tionghoa ini secara resmi "mengakuisisi" nama kakaknya. Sementara si Iyuth asli berganti nama jadi menjadi Yusuf. "Saya ini anak yang paling nyeleneh," ujar anak ke-14 dari 15 bersaudara itu.

Kecuali Iyuth, tak seorang pun dari keluarganya yang terjun di dunia fashion dan seni. Semuanya berawal dari pekerjaannya sebagai penjaga butik di Duta Merlin. Saat itulah ia mulai mengenal dan tertarik ke dunia fashion. Bermodal ketampanan dan bentuk tubuhnya yang bagus, Iyuth pun beranjak menjadi peraga busana. Prestasinya berlenggak-lenggok selama 12 tahun cukup memuaskan. Berbagai arena peragaan busana di luar negeri pernah diikutinya dan gelar sebagai peragawan fotogenik pernah disabetnya. Ia juga sempat membintangi beberapa film dan sinetron. Di antaranya film Cinta di Balik Noda yang di bintangi Meriem Bellina.

Meskipun kariernya di dunia mode belum mentok, lulusan sekolah bisnis Standford College Singapura ini banting setir jadi pengusaha sepatu. "Kalau saya terus jadi peragawan, saya akan ketinggalan dari teman-teman saya," ujar bos 200 orang pekerja itu. Bisnis sepatu dipilihnya lantaran masih berkaitan erat dengan dunia mode. Keputusannya itu ternyata tepat. Bisnis sepatunya berkembang pesat dengan omzet miliaran rupiah per tahun. Sepatu karya Iyuth tak hanya terkenal di Indonesia, tapi juga sampai ke Singapura dan Nigeria.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar